Perjamuan Kudus, Perjamuan Suci, Perjamuan Paskah,
atau Sakramen Ekaristi adalah salah satu sakramen yang dikenal di dalam
Gereja Kristen. Istilah ekaristi yang berasal dari bahasa Yunani
ευχαριστω, yang berarti berterima kasih atau bergembira, lebih sering
digunakan oleh gereja Katolik, Anglikan, Ortodoks Timur, dan Lutheran,
sedangkan istilah Perjamuan Kudus digunakan oleh gereja Protestan.
Perjamuan Kudus didasari pada makan malam terakhir Yesus dengan
murid-muridnya pada malam sebelum ia ditangkap dan disalibkan (Markus
14:12-21. dll.).
Makna Perjamuan Kudus
Pada umumnya orang Kristen percaya bahwa mereka diperintahkan Yesus
untuk mengulangi peristiwa perjamuan ini untuk memperingatinya (“…
perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” – 1 Kor. 11:24, 25). Namun
berbagai aliran Gereja Kristen memberikan pengertian yang berbeda-beda
pula terhadap sakramen ini. Gereja Katolik Roma menekankan arti
perjamuan kudus sebagai sarana keselamatan bagi umat. Gereja-gereja
Protestan umumnya lebih menekankan perjamuan sebagai peringatan akan
kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia.
Elemen Perjamuan
Seperti halnya pada perjamuan Yesus yang terakhir, umat Kristen
bersama-sama memakan roti dan meminum anggur. Dalam hal inipun terdapat
perbedaan praktek sesuai dengan tradisi gereja. Di kalangan Gereja
Katolik Roma roti yang digunakan dibuat khusus tanpa ragi (hosti),
sementara anggur tidak diberikan kepada umat. Di kalangan Gereja
Protestan digunakan roti biasa, sementara anggur yang digunakan bisa
juga berupa jus anggur.
Apa pentingnya Perjamuan Kudus?
Mempelajari Perjamuan Kudus adalah pengalaman yang menyentuh sanubari
karena dalamnya makna yang dikandung. Adalah pada saat merayakan Pasah
pada malam menjelang kematianNya Yesus menetapkan sebuah perjamuan baru
yang bermakna yang kita peringati sampai saat ini, dan yang merupakan
pengungkapan tertinggi dalam ibadah Kristiani. Perjamuan Kudus adalah
”khotbah dalam perbuatan,” memperingati kematian dan kebangkitan Tuhan
kita, dan memandang ke masa yang akan datang di mana Dia akan datang
kembali dalam kemuliaan.
Hari Pasah adalah perayaan yang paling suci dalam kalender agama
Yahudi. Perayaan itu memperingati tulah terakhir di Mesir ketika
anak-anak sulung orang Mesir mati dan anak-anak sulung orang Israel
selamat karena darah dari anak domba yang dipercikkan di ambang pintu
mereka. Anak domba dipanggang dan dimakan bersama dengan roti tidak
beragi. Allah memerintahkan bahwa sepanjang masa hari raya itu harus
diperingati. Kisah ini dicatat dalam Keluaran 12.
Dalam perayaan itu, Yesus dan murid-muridnya menyanyi satu atau
beberapa Mazmur Pujian (Mazmur 111-118). Yesus, mengambil roti, mengucap
syukur kepada Allah. Sambil memecahkan roti itu dan memberikannya
kepada mereka, Dia berkata, “Ambil, makanlah, inilah tubuhKu yang
diserahkan bagi kamu.” Demikian pula Dia mengambil cawan sesudah makan
dan memberikannya kepada mereka untuk diminum. Dia berkata, “Cawan ini
adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini,
setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Dia
mengakhiri perjamuan itu dengan menyanyikan nyanyian rohani dan kemudian
mereka keluar menuju ke Bukit Zaitun. Di sanalah Yesus dikhianati,
sebagaimana telah dinubuatkan, oleh Yudas. Pada keesokan harinya Yesus
disalibkan.
Kisah mengenai Perjamuan Kudus terdapat dalam Matius 26:26-29, Markus
14:17-25, Lukas 22:7-22, dan Yohanes 13:21-30. Dengan pewahyuan illahi,
Rasul Paulus menulis mengenai Perjamuan Kudus dalam 1 Korintus
11:23-29. (Hal ini karena Paulus tidak berada di ruang atas saat
Perjamuan Kudus ditetapkan). Paulus memasukkan kata-kata yang tidak
terdapat dalam kitab-kitab Injil, “Jadi barangsiapa dengan cara yang
tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh
dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya
sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu.
Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia
mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Korintus 11:27-29).(WP/JM)
Kamis, 28 Februari 2013
Selasa, 19 Februari 2013
PERAYAAN PASKAH
Paskah (bahasa Yunani: Πάσχα atau Paskha adalah perayaan terpenting
dalam tahun liturgi gerejawi Kristen. Bagi umat Kristen, Paskah identik
dengan Yesus, yang oleh Paulus disebut sebagai “anak domba Paskah”;
jemaat Kristen hingga saat ini percaya bahwa Yesus disalibkan, mati dan
dikuburkan, dan pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati.
Paskah merayakan hari kebangkitan tersebut dan merupakan perayaan yang
terpenting karena memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup
Yesus.
Paskah juga merujuk pada masa di dalam kalender gereja yang disebut masa Paskah, yaitu masa yang dirayakan dulu selama empat puluh hari sejak Minggu Paskah (puncak dari Pekan Suci) hingga hari Kenaikan Yesus namun sekarang masa tersebut diperpanjang hingga lima puluh hari, yaitu sampai dengan hari Pentakosta (yang artinya “hari kelima puluh” – hari ke-50 setelah Paskah, terjadi peristiwa turunnya Roh Kudus). Minggu pertama di dalam masa Paskah dinamakan Oktaf Paskah oleh Gereja Katolik Roma. Hari Paskah juga mengakhiri perayaan Pra-Paskah yang dimulai sejak empat puluh hari sebelum Kamis Putih, yaitu masa-masa berdoa, penyesalan, dan persiapan berkabung.
Paskah merupakan salah satu hari raya yang berubah-ubah tanggalnya (dalam kekristenan disebut dengan perayaan yang berpindah) karena disesuaikan dengan hari tertentu (dalam hal ini hari Minggu), bukan tanggal tertentu di dalam kalender sipil. Hari raya-hari raya Kristen lainnya tanggalnya disesuaikan dengan hari Paskah tersebut dengan menggunakan sebuah formula kompleks. Paskah biasanya dirayakan antara akhir bulan Maret hingga akhir bulan April (ritus Barat) atau awal bulan April hingga awal bulan Mei (ritus Timur) setiap tahunnya, tergantung kepada siklus bulan. Setelah ratusan tahun gereja-gereja tidak mencapai suatu kesepakatan, saat ini semua gereja telah menerima perhitungan Gereja Aleksandria (sekarang disebut Gereja Koptik) yang menentukan bahwa hari Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah Bulan Purnama Paskah, yaitu bulan purnama pertama yang hari keempat belasnya (“bulan purnama” gerejawi) jatuh pada atau setelah 21 Maret (titik Musim Semi Matahari/vernal equinox gerejawi)
Minggu Paskah bukan perayaan yang sama (namun masih berhubungan) dengan Paskah Yahudi (bahasa Ibrani: פסח atau Pesakhdalam hal simbolisme dan juga penanggalannya. Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah yang berbeda untuk Paskah Pesakh (Yahudi) dan Paskah Paskha (Kristen) sebagaimana beberapa bahasa Eropa yang mempunyai dua istilah yang berbeda, oleh sebab itu kata Paskah dapat memiliki dua arti yang berbeda di dalam bahasa Indonesia.
Banyak elemen budaya, termasuk kelinci Paskah dan telur Paskah, telah menjadi bagian dari perayaan Paskah modern, dan elemen-elemen tersebut biasa dirayakan oleh umat Kristen maupun non-Kristen.
Paskah dalam kekristenan
Paskah merupakan perayaan tertua di dalam gereja Kristen, penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Paus Leo Agung (440-461) menekankan pentingnya Paskah dan menyebutnya festum festorum – perayaan dari semua perayaan, dan berkata bahwa Natal hanya dirayakan untuk mempersiapkan perayaan Paskah.
Menurut tradisi Sinoptik, Paskah menunjuk pada Perjamuan Kudus, yang didasari dari Perjamuan Malam, perjamuan perpisahan antara Yesus dan murid-murid Yesus[5][3]. Pada malam itu sebelum Yesus dihukum mati, Yesus memberikan makna baru bagi Paskah Yahudi. Roti dilambangkan sebagai tubuh Yesus dan anggur dilambangkan sebagai darah Yesus, yaitu perlambangan diri Yesus sebagai korban Paskah. Rasul Yohanes dan Pauluslah yang mengaitkan kematian Yesus sebagai penggenapan Paskah Perjanjian Lama (Yesus wafat pada saat domba-domba Paskah Yahudi dikorbankan di kenisah atau Bait Allah)[7]. Kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang kemudian diasosiasikan dengan istilah Paskah dalam kekristenan.
Karena Paskah dirayakan oleh gereja-gereja Kristen dengan suatu sakramen Ekaristi/Perjamuan Kudus, maka sakramen tersebut dapat pula disebut sebagai Perjamuan Paskah Kristen[1], atau Perjamuan Kudus Jumat Agung, yang berbeda dari Perjamuan Paskah Yahudi. Banyak gereja Kristen saat ini merayakan perjamuan tersebut lebih dari setahun sekali agar jemaat gereja selalu diingatkan akan peristiwa Paskah.
Di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kata Paskah disebutkan sebanyak 80 kali dalam 72 ayat sementara di dalam terjemahan BIS disebutkan sebanyak 86 kali dalam 77 ayat.
Paskah pada gereja mula-mula
Gereja mula-mula memperingati peristiwa kebangkitan Yesus dengan perjamuan sederhana dan berdoa[e]. Kemudian dalam perjalanan misinya, Paulus terus mengingatkan jemaat gereja mula-mula akan pentingnya peristiwa kebangkitan Yesus[f] dan perkataan Yesus pada waktu Perjamuan Malam Terakhir. Sumber yang paling awal yang menulis tentang Paskah adalah Melito dari Sardis yang menulis homili berjudul Peri Pascha (Tentang Paskah). Orang-orang Kristen pada zaman tersebut menapak tilas jalan salib (Via Dolorosa) yang dilalui oleh Tuhan Yesus. Kematiannya diperingati sebagai korban keselamatan dalam tradisi Yahudi (bahasa Ibrani: Zerah Syelamin)
Orang Kristen Yahudi terus merayakan Paskah Yahudi, namun mereka tidak lagi mengorbankan domba Paskah karena Kristus dianggap sebagai korban Paskah yang sejati. Perayaan ini diawali dengan berpuasa hingga Jumat jam 3 sore (ada yang melanjutkan hingga pagi Paskah). Perbedaan timbul di seputar tanggal Paskah. Orang Kristen Yahudi dan jemaat provinsi Asia merayakannya pada hari yang bersamaan dengan Paskah Yahudi, yaitu sehari setelah tanggal 14 Nisan (bulan pertama) menurut kalender mereka – kematian Yesus pada 15 Nisan dan kebangkitan Yesus pada 17 Nisan – tanpa mempedulikan harinya[14]; namun orang Kristen non-Yahudi yang tinggal di Kekaisaran Romawi dan juga gereja di Roma dan Aleksandria merayakannya pada hari pertama, yaitu hari Minggu – hari kebangkitan Yesus, tanpa mempedulikan tanggalnya. Metode yang kedua inilah yang akhirnya lebih banyak digunakan di gereja, dan penganut metode yang pertama perlahan-lahan mulai tergusur. Uskup Viktor dari Roma pada akhir abad ke-2 menyatakan perayaan menurut tanggal 14 Nisan adalah bidat dan mengucilkan semua pengikutnya. Beberapa metode penghitungan yang lain di antaranya oleh beberapa uskup di Galia yang menghitung Paskah berdasarkan tanggal tertentu sesuai kalender Romawi, yaitu 25 Maret memperingati kematian Yesus dan 27 Maret memperingati kematian Yesus karena sejak abad ke-3 tanggal 25 Maret dianggap sebagai tanggal penyaliban Namun metode yang terakhir ini tidak digunakan lama. Banyak kalender di Abad Pertengahan yang mencatat tanggal perayaan ini (25 dan 27 Maret) untuk alasan historis, bukan liturgis. Kaum Montanis di Asia Minor merayakan Paskah pada hari Minggu pertama setelah 6 April. Berbagai variasi perhitungan tanggal Paskah tersebut terus berlangsung hingga abad ke-4.
Perselisihan seputar penghitungan hari Minggu Paskah yang tepat tersebut akhirnya dibahas secara resmi pada Konsili Nicea I pada tahun 325 yang memutuskan bahwa hari Paskah adalah hari Minggu, namun tidak mematok hari Minggu tertentu. Kelompok yang merayakan Paskah dengan perhitungan Yahudi dinamakan “Quartodeciman” (bahasa Latin untuk (Nisan) dan dikucilkan dari gereja. Uskup Aleksandria kemudian ditugaskan untuk mencari cara menghitung tanggal Paskah, karena kota itu dianggap sebagai otoritas tertinggi untuk hal-hal yang berhubungan dengan astronomi, dan sang uskup diharapkan dapat memutuskan hasilnya untuk diikuti keuskupan-keuskupan yang lain. Namun hasil yang diperoleh tidak memuaskan, terutama untuk gereja-gereja Latin. Banyak gereja masih memakai cara mereka sendiri-sendiri, termasuk gereja di Roma. Akhirnya baru pada abad ke-7 gereja-gereja berhasil mencapai kesepakatan mengenai perhitungan tanggal Minggu Paskah.(jm/wp)
Paskah juga merujuk pada masa di dalam kalender gereja yang disebut masa Paskah, yaitu masa yang dirayakan dulu selama empat puluh hari sejak Minggu Paskah (puncak dari Pekan Suci) hingga hari Kenaikan Yesus namun sekarang masa tersebut diperpanjang hingga lima puluh hari, yaitu sampai dengan hari Pentakosta (yang artinya “hari kelima puluh” – hari ke-50 setelah Paskah, terjadi peristiwa turunnya Roh Kudus). Minggu pertama di dalam masa Paskah dinamakan Oktaf Paskah oleh Gereja Katolik Roma. Hari Paskah juga mengakhiri perayaan Pra-Paskah yang dimulai sejak empat puluh hari sebelum Kamis Putih, yaitu masa-masa berdoa, penyesalan, dan persiapan berkabung.
Paskah merupakan salah satu hari raya yang berubah-ubah tanggalnya (dalam kekristenan disebut dengan perayaan yang berpindah) karena disesuaikan dengan hari tertentu (dalam hal ini hari Minggu), bukan tanggal tertentu di dalam kalender sipil. Hari raya-hari raya Kristen lainnya tanggalnya disesuaikan dengan hari Paskah tersebut dengan menggunakan sebuah formula kompleks. Paskah biasanya dirayakan antara akhir bulan Maret hingga akhir bulan April (ritus Barat) atau awal bulan April hingga awal bulan Mei (ritus Timur) setiap tahunnya, tergantung kepada siklus bulan. Setelah ratusan tahun gereja-gereja tidak mencapai suatu kesepakatan, saat ini semua gereja telah menerima perhitungan Gereja Aleksandria (sekarang disebut Gereja Koptik) yang menentukan bahwa hari Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah Bulan Purnama Paskah, yaitu bulan purnama pertama yang hari keempat belasnya (“bulan purnama” gerejawi) jatuh pada atau setelah 21 Maret (titik Musim Semi Matahari/vernal equinox gerejawi)
Minggu Paskah bukan perayaan yang sama (namun masih berhubungan) dengan Paskah Yahudi (bahasa Ibrani: פסח atau Pesakhdalam hal simbolisme dan juga penanggalannya. Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah yang berbeda untuk Paskah Pesakh (Yahudi) dan Paskah Paskha (Kristen) sebagaimana beberapa bahasa Eropa yang mempunyai dua istilah yang berbeda, oleh sebab itu kata Paskah dapat memiliki dua arti yang berbeda di dalam bahasa Indonesia.
Banyak elemen budaya, termasuk kelinci Paskah dan telur Paskah, telah menjadi bagian dari perayaan Paskah modern, dan elemen-elemen tersebut biasa dirayakan oleh umat Kristen maupun non-Kristen.
Paskah dalam kekristenan
Paskah merupakan perayaan tertua di dalam gereja Kristen, penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Paus Leo Agung (440-461) menekankan pentingnya Paskah dan menyebutnya festum festorum – perayaan dari semua perayaan, dan berkata bahwa Natal hanya dirayakan untuk mempersiapkan perayaan Paskah.
Menurut tradisi Sinoptik, Paskah menunjuk pada Perjamuan Kudus, yang didasari dari Perjamuan Malam, perjamuan perpisahan antara Yesus dan murid-murid Yesus[5][3]. Pada malam itu sebelum Yesus dihukum mati, Yesus memberikan makna baru bagi Paskah Yahudi. Roti dilambangkan sebagai tubuh Yesus dan anggur dilambangkan sebagai darah Yesus, yaitu perlambangan diri Yesus sebagai korban Paskah. Rasul Yohanes dan Pauluslah yang mengaitkan kematian Yesus sebagai penggenapan Paskah Perjanjian Lama (Yesus wafat pada saat domba-domba Paskah Yahudi dikorbankan di kenisah atau Bait Allah)[7]. Kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang kemudian diasosiasikan dengan istilah Paskah dalam kekristenan.
Karena Paskah dirayakan oleh gereja-gereja Kristen dengan suatu sakramen Ekaristi/Perjamuan Kudus, maka sakramen tersebut dapat pula disebut sebagai Perjamuan Paskah Kristen[1], atau Perjamuan Kudus Jumat Agung, yang berbeda dari Perjamuan Paskah Yahudi. Banyak gereja Kristen saat ini merayakan perjamuan tersebut lebih dari setahun sekali agar jemaat gereja selalu diingatkan akan peristiwa Paskah.
Di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kata Paskah disebutkan sebanyak 80 kali dalam 72 ayat sementara di dalam terjemahan BIS disebutkan sebanyak 86 kali dalam 77 ayat.
Paskah pada gereja mula-mula
Gereja mula-mula memperingati peristiwa kebangkitan Yesus dengan perjamuan sederhana dan berdoa[e]. Kemudian dalam perjalanan misinya, Paulus terus mengingatkan jemaat gereja mula-mula akan pentingnya peristiwa kebangkitan Yesus[f] dan perkataan Yesus pada waktu Perjamuan Malam Terakhir. Sumber yang paling awal yang menulis tentang Paskah adalah Melito dari Sardis yang menulis homili berjudul Peri Pascha (Tentang Paskah). Orang-orang Kristen pada zaman tersebut menapak tilas jalan salib (Via Dolorosa) yang dilalui oleh Tuhan Yesus. Kematiannya diperingati sebagai korban keselamatan dalam tradisi Yahudi (bahasa Ibrani: Zerah Syelamin)
Orang Kristen Yahudi terus merayakan Paskah Yahudi, namun mereka tidak lagi mengorbankan domba Paskah karena Kristus dianggap sebagai korban Paskah yang sejati. Perayaan ini diawali dengan berpuasa hingga Jumat jam 3 sore (ada yang melanjutkan hingga pagi Paskah). Perbedaan timbul di seputar tanggal Paskah. Orang Kristen Yahudi dan jemaat provinsi Asia merayakannya pada hari yang bersamaan dengan Paskah Yahudi, yaitu sehari setelah tanggal 14 Nisan (bulan pertama) menurut kalender mereka – kematian Yesus pada 15 Nisan dan kebangkitan Yesus pada 17 Nisan – tanpa mempedulikan harinya[14]; namun orang Kristen non-Yahudi yang tinggal di Kekaisaran Romawi dan juga gereja di Roma dan Aleksandria merayakannya pada hari pertama, yaitu hari Minggu – hari kebangkitan Yesus, tanpa mempedulikan tanggalnya. Metode yang kedua inilah yang akhirnya lebih banyak digunakan di gereja, dan penganut metode yang pertama perlahan-lahan mulai tergusur. Uskup Viktor dari Roma pada akhir abad ke-2 menyatakan perayaan menurut tanggal 14 Nisan adalah bidat dan mengucilkan semua pengikutnya. Beberapa metode penghitungan yang lain di antaranya oleh beberapa uskup di Galia yang menghitung Paskah berdasarkan tanggal tertentu sesuai kalender Romawi, yaitu 25 Maret memperingati kematian Yesus dan 27 Maret memperingati kematian Yesus karena sejak abad ke-3 tanggal 25 Maret dianggap sebagai tanggal penyaliban Namun metode yang terakhir ini tidak digunakan lama. Banyak kalender di Abad Pertengahan yang mencatat tanggal perayaan ini (25 dan 27 Maret) untuk alasan historis, bukan liturgis. Kaum Montanis di Asia Minor merayakan Paskah pada hari Minggu pertama setelah 6 April. Berbagai variasi perhitungan tanggal Paskah tersebut terus berlangsung hingga abad ke-4.
Perselisihan seputar penghitungan hari Minggu Paskah yang tepat tersebut akhirnya dibahas secara resmi pada Konsili Nicea I pada tahun 325 yang memutuskan bahwa hari Paskah adalah hari Minggu, namun tidak mematok hari Minggu tertentu. Kelompok yang merayakan Paskah dengan perhitungan Yahudi dinamakan “Quartodeciman” (bahasa Latin untuk (Nisan) dan dikucilkan dari gereja. Uskup Aleksandria kemudian ditugaskan untuk mencari cara menghitung tanggal Paskah, karena kota itu dianggap sebagai otoritas tertinggi untuk hal-hal yang berhubungan dengan astronomi, dan sang uskup diharapkan dapat memutuskan hasilnya untuk diikuti keuskupan-keuskupan yang lain. Namun hasil yang diperoleh tidak memuaskan, terutama untuk gereja-gereja Latin. Banyak gereja masih memakai cara mereka sendiri-sendiri, termasuk gereja di Roma. Akhirnya baru pada abad ke-7 gereja-gereja berhasil mencapai kesepakatan mengenai perhitungan tanggal Minggu Paskah.(jm/wp)
Rabu, 06 Februari 2013
Rasul Paulus
Paulus dari Tarsus (awalnya Saulus dari Tarsus) atau Rasul Paulus, (Masehi–67 Masehi) diakui sebagai tokoh penting dalam merumuskan ajaran Yesus. Paulus digambarkan dalam Perjanjian Baru sebagai Yahudi yang berkebudayaan Yunani (helenis) dan warga Roma dari Tarsus (sekarang Turki). Mulanya ia seorang penganiaya orang Kristen (saat itu bernama Saulus), dan sesudah pengalamannya berjumpa Yesus di jalan menuju kota Damaskus, ia berubah menjadi seorang pengikut Yesus Kristus (Kisah para rasul. 9).
Dia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan pertikaian antara dirinya dengan murid-murid Yesus, terutama Petrus dan Yakobus, yang percaya bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu ( Gal. 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem (Kis. 15), yang disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja yang pertama.
Konsili ini menghasilkan beberapa keputusan penting, misalnya:
untuk menikmati karya penyelamatan Yesus, orang tidak harus menjadi Yahudi terlebih dahulu
orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi (mis. hal-perihal tentang sunat dan memakan makanan yang diharamkan).
Paulus mendapat mandat untuk memberitakan Injil ke daerah-daerah berbahasa Yunani.
Paulus dijadikan seorang Santo (orang suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa denominasi Lutheran. Dia berbuat banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan merupakan pendiri kekristenan Paulin (kekristenan bercorak Paulus). Surat-suratnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak yang berpendapat bahwa Paulus memainkan peranan penting dalam mendirikan agama Kristen sebagai agama yang berbeda, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.
Surat-surat Paulus
Surat-surat Paulus bukan hanya menjadi alat komunikasi antara dirinya dengan komunitas-komunitas Kristen perdana, melainkan juga sebagai uraian teologisnya. Menurut para ahli Perjanjian Baru, yang tergolong dalam surat-surat Paulus adalah:
Surat Galatia
Surat 1 dan 2 Korintus
Surat Efesus
Surat Filipi
Surat Kolose
Surat Filemon
Surat 1 dan 2 Tesalonika
Surat Roma
Beberapa surat lainnya seringkali dipercayai berasal dari Paulus juga, seperti Surat 1 dan 2 Timotius dan Surat Titus, namun para ahli Perjanjian Baru juga menduga surat-surat itu ditulis oleh orang lain, kemungkinan adalah para pengikut Paulus.
Paulus dan Trinitas
Paulus adalah orang Ibrani asli dan pengikut aliran paling keras, yaitu dari golongan Farisi. Hal ini bukan hanya memberi dampak yang mendalam atasnya, tapi juga memberi kebanggaan yang besar karena . Ia telah mendapat pengajaran dibawah pengawasan Gamaliel, dan telah berkembang lebih maju daripada kebanyakan temannya sezaman dalam soal agama Yahudi.
Tiap usaha untuk merumuskan bagaimana sifat yang sebenarnya dari agama Yahudi pada abad pertama, seperti yang dikenal Paulus itu, menghadapi banyak kesukaran. Sebab banyak dari bahan yang dimiliki tentang agama Yahudi diambil dari sumber-sumber yang kemudian. Agama Yahudi yang dipimpin para rabi memang memiliki banyak akar yang kuat pada abad pertama. Tapi bentuk-bentuknya yang lebih maju baru timbul pada zaman yang lebih kemudian daripada zaman Paulus. Lagi pula dalam ajaran Yahudi sendiri terdapat pengaruh-pengaruh Helenisme, teristimewa di luar Yudea. Bahkan juga di Palestina sendiri muncul kecenderungan-kecenderungan yang menampakkan beberapa sinkretisme di antara gagasan Yahudi dan Helenisme, seperti yang disaksikan oleh naskah Laut Mati.
Tidak mungkin untuk menghargai beberapa dari corak yang menguasai teologia Paulus, tanpa menunjuk kepada ketegangan-ketegangan yang ada dalam pikiran Paulus sebelum ia bertobat. Agama Yahudi pada hakekatnya adalah agama legalistis (berdasarkan perbuatan) dalam pendekatannya. Bahwa Paulus dikecewakan sekali di bawah sistem itu terang dari sikapnya, jika ia menunjuk kepada pengalamannya yang telah lalu. Ia tahu bahwa pembenaran oleh amal tidak mungkin, karena ia sendiri telah mengalaminya sebagai hal yang tidak mungkin. Namun agama Yahudi adalah pencarian tentang pembenaran, dan tidak ada sistem keagamaan yang akan pernah dapat memuaskan jiwa Paulus, yang tidak menawarkan alat-alat yang cocok untuk mendapatkan kebenaran itu. Barangkali inilah (lebih daripada konsep tunggal lain yang mana pun), yang disumbangkan oleh latar belakang Yahudinya pada perkembangan teologia Paulus.
Suatu corak lain dari pendekatan keagamaan Paulus adalah besarnya pengaruh Perjanjian Lama atas dia. Sekalipun dalam banyak hal ia memakai naskah Septuaginta (LXX), namun pada hakekatnya caranya menggunakan Kitab-kitab Perjanjian Lama adalah cara Yahudi. Dalam hal ini bertentangan dengan Filo dari Alexandria, yang menafsirkan sejarah Alkitab secara alegoris. Tapi Paulus melihat pernyataan Allah pada perbuatan-perbuatan-Nya dalam sejarah.
Sebagai Yahudi, Paulus kuat kepercayaannya kepada Allah yang satu dan benar. Lebih dari itu ia memiliki keyakinan tentang kekudusan Allah. Dalam agama Yahudi kepercayaan ini memimpin kepada transendentalisme, tapi dalam teologia Kristen Paulus tidak ada persoalan tentang Allah yang jauh. Allah didekatkan di dalam Yesus Kristus. Tapi tidak dapat diragukan bahwa bagi konsepsinya yang mulia tentang Allah, Paulus banyak berhutang kepada warisan Yahudinya.
Pandangan Paulus tentang Allah dipengaruhi sekali oleh Perjanjian Lama dan oleh kepercayaan Yahudi yang konsekuen. Pandangan itu pada hakekatnya juga sama dengan yang terdapat dalam ajaran Yesus. Pandangannya tentang Allah tinggi, tapi ia tidak mengikuti kesalahan orang Yahudi sezamannya, yang menjadikan Allah jauh sekali (transendentalisme). Konsepnya tentang Allah dikuasai oleh gagasan tentang kasih karunia, yaitu kebaikan Allah yang bukan berdasarkan kelayakan manusia. Paulus tidak pernah dapat melepaskan diri dari gagasan, bahwa seluruh proses keselamatan itu adalah inisiatif Allah dan tidak tergantung pada usaha manusia. Ia tahu benar kasih Allah di dalam Kristus dan tidak pernah jemu untuk mengucapkan hal itu.
Yesus Kristus sendiri senantiasa berpatokan kepada Perjanjian Lama sedangkan monotheisme adalah dasar dan inti Perjanjian Lama. Perjanjian Lama tidak menulis bahwa Allah yang Esa terdiri atas tiga pribadi yang berbeda. Klimaks Perjanjian Lama adalah Allah sendiri yang telah turun ke bumi untuk melaksanakan penyelamatan dunia dalam rupa Mesias yang ilahi, Manusia Ilahi, tangan Tuhan.(Jm/Wp}
Dia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan pertikaian antara dirinya dengan murid-murid Yesus, terutama Petrus dan Yakobus, yang percaya bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu ( Gal. 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem (Kis. 15), yang disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja yang pertama.
Konsili ini menghasilkan beberapa keputusan penting, misalnya:
untuk menikmati karya penyelamatan Yesus, orang tidak harus menjadi Yahudi terlebih dahulu
orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi (mis. hal-perihal tentang sunat dan memakan makanan yang diharamkan).
Paulus mendapat mandat untuk memberitakan Injil ke daerah-daerah berbahasa Yunani.
Paulus dijadikan seorang Santo (orang suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa denominasi Lutheran. Dia berbuat banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan merupakan pendiri kekristenan Paulin (kekristenan bercorak Paulus). Surat-suratnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak yang berpendapat bahwa Paulus memainkan peranan penting dalam mendirikan agama Kristen sebagai agama yang berbeda, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.
Surat-surat Paulus
Surat-surat Paulus bukan hanya menjadi alat komunikasi antara dirinya dengan komunitas-komunitas Kristen perdana, melainkan juga sebagai uraian teologisnya. Menurut para ahli Perjanjian Baru, yang tergolong dalam surat-surat Paulus adalah:
Surat Galatia
Surat 1 dan 2 Korintus
Surat Efesus
Surat Filipi
Surat Kolose
Surat Filemon
Surat 1 dan 2 Tesalonika
Surat Roma
Beberapa surat lainnya seringkali dipercayai berasal dari Paulus juga, seperti Surat 1 dan 2 Timotius dan Surat Titus, namun para ahli Perjanjian Baru juga menduga surat-surat itu ditulis oleh orang lain, kemungkinan adalah para pengikut Paulus.
Paulus dan Trinitas
Paulus adalah orang Ibrani asli dan pengikut aliran paling keras, yaitu dari golongan Farisi. Hal ini bukan hanya memberi dampak yang mendalam atasnya, tapi juga memberi kebanggaan yang besar karena . Ia telah mendapat pengajaran dibawah pengawasan Gamaliel, dan telah berkembang lebih maju daripada kebanyakan temannya sezaman dalam soal agama Yahudi.
Tiap usaha untuk merumuskan bagaimana sifat yang sebenarnya dari agama Yahudi pada abad pertama, seperti yang dikenal Paulus itu, menghadapi banyak kesukaran. Sebab banyak dari bahan yang dimiliki tentang agama Yahudi diambil dari sumber-sumber yang kemudian. Agama Yahudi yang dipimpin para rabi memang memiliki banyak akar yang kuat pada abad pertama. Tapi bentuk-bentuknya yang lebih maju baru timbul pada zaman yang lebih kemudian daripada zaman Paulus. Lagi pula dalam ajaran Yahudi sendiri terdapat pengaruh-pengaruh Helenisme, teristimewa di luar Yudea. Bahkan juga di Palestina sendiri muncul kecenderungan-kecenderungan yang menampakkan beberapa sinkretisme di antara gagasan Yahudi dan Helenisme, seperti yang disaksikan oleh naskah Laut Mati.
Tidak mungkin untuk menghargai beberapa dari corak yang menguasai teologia Paulus, tanpa menunjuk kepada ketegangan-ketegangan yang ada dalam pikiran Paulus sebelum ia bertobat. Agama Yahudi pada hakekatnya adalah agama legalistis (berdasarkan perbuatan) dalam pendekatannya. Bahwa Paulus dikecewakan sekali di bawah sistem itu terang dari sikapnya, jika ia menunjuk kepada pengalamannya yang telah lalu. Ia tahu bahwa pembenaran oleh amal tidak mungkin, karena ia sendiri telah mengalaminya sebagai hal yang tidak mungkin. Namun agama Yahudi adalah pencarian tentang pembenaran, dan tidak ada sistem keagamaan yang akan pernah dapat memuaskan jiwa Paulus, yang tidak menawarkan alat-alat yang cocok untuk mendapatkan kebenaran itu. Barangkali inilah (lebih daripada konsep tunggal lain yang mana pun), yang disumbangkan oleh latar belakang Yahudinya pada perkembangan teologia Paulus.
Suatu corak lain dari pendekatan keagamaan Paulus adalah besarnya pengaruh Perjanjian Lama atas dia. Sekalipun dalam banyak hal ia memakai naskah Septuaginta (LXX), namun pada hakekatnya caranya menggunakan Kitab-kitab Perjanjian Lama adalah cara Yahudi. Dalam hal ini bertentangan dengan Filo dari Alexandria, yang menafsirkan sejarah Alkitab secara alegoris. Tapi Paulus melihat pernyataan Allah pada perbuatan-perbuatan-Nya dalam sejarah.
Sebagai Yahudi, Paulus kuat kepercayaannya kepada Allah yang satu dan benar. Lebih dari itu ia memiliki keyakinan tentang kekudusan Allah. Dalam agama Yahudi kepercayaan ini memimpin kepada transendentalisme, tapi dalam teologia Kristen Paulus tidak ada persoalan tentang Allah yang jauh. Allah didekatkan di dalam Yesus Kristus. Tapi tidak dapat diragukan bahwa bagi konsepsinya yang mulia tentang Allah, Paulus banyak berhutang kepada warisan Yahudinya.
Pandangan Paulus tentang Allah dipengaruhi sekali oleh Perjanjian Lama dan oleh kepercayaan Yahudi yang konsekuen. Pandangan itu pada hakekatnya juga sama dengan yang terdapat dalam ajaran Yesus. Pandangannya tentang Allah tinggi, tapi ia tidak mengikuti kesalahan orang Yahudi sezamannya, yang menjadikan Allah jauh sekali (transendentalisme). Konsepnya tentang Allah dikuasai oleh gagasan tentang kasih karunia, yaitu kebaikan Allah yang bukan berdasarkan kelayakan manusia. Paulus tidak pernah dapat melepaskan diri dari gagasan, bahwa seluruh proses keselamatan itu adalah inisiatif Allah dan tidak tergantung pada usaha manusia. Ia tahu benar kasih Allah di dalam Kristus dan tidak pernah jemu untuk mengucapkan hal itu.
Yesus Kristus sendiri senantiasa berpatokan kepada Perjanjian Lama sedangkan monotheisme adalah dasar dan inti Perjanjian Lama. Perjanjian Lama tidak menulis bahwa Allah yang Esa terdiri atas tiga pribadi yang berbeda. Klimaks Perjanjian Lama adalah Allah sendiri yang telah turun ke bumi untuk melaksanakan penyelamatan dunia dalam rupa Mesias yang ilahi, Manusia Ilahi, tangan Tuhan.(Jm/Wp}
Langganan:
Postingan (Atom)